Selasa, 01 Mei 2012

20. teori teori kepemimpinanan


Teori-Teori Kepemimpinan

 
 
 
 
 
 
Rate This
Parpol perlu memikirkan mengenai kader seperti apa yang dibentuk agar taat menjalankan ritus organisasinya dan mampu mencapai tujuan politik yang ditetapkan. Par­pol juga perlu memikirkan figur kepemimpinan seperti apa yang dia harapkan dari sekian banyak proses pengkaderan yang dijalankan. Karena itu untuk bisa memahami karak­teristik kepemimpinan partai, dapat kita lakukan dengan menggunakan beberapa teori kepemimpinan dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mendorong lahir­nya kepemimpinan dan sifat (nature) kepemimpinan seba­gai berikut:
Pertama, Teori serba sifat (traits theory). Kepemimpinan itu me­merlukan serangkaian sifat-sifat, ciri-ciri atau perangai tertentu yang menjamin keberhasilan pada setiap si­tuasi. Awalnya teori ini membandingkan sifat pemim­pin yang ada dengan sifat-sifat “orang besar”. Kesim­pulannya bahwa kepemimpinan “orang besar” adalah karena sifat-sifat yang di bawah sejak lahir dan bakat yang dimilikinya. Siagian menyatakan bah­wa teori ini juga disebut teori generatis.
Kedua, Teori lingkunganMunculnya pemimpin-pemimpin merupakan hasil dari waktu, tempat dan keadaan tertentu. Seseorang akan muncul menjadi pemimpin apabila ia berada dalam lingkung­an sosial, dan mampu memanfaatkan situasi dan kon­disi sosial untuk bertindak mengatasi masalah sosial. Setiap situasi dan kondisi akan menuntut kualitas ke­pemimpinan yang berbeda pula. Teori ini sejalan dengan pandangan bahwa “leaders are made not born”.
Ketiga, Teori pribadi-situasional (personal-situational theory).Kepemimpinan merupakan hasil dari keterkaitan an­tara sifat-sifat pribadi pemimpin, sifat kelompok dan anggotanya dan kejadian (masalah) yang dihadapi ke­lompok. Teori ini menyatakan bahwa sifat-sifat saja belum memungkinkan seorang pemimpin untuk ber­kembang namun masih harus dikaitkan dengan situasi dan kondisi.
Keempat, Teori interaksi-harapan (Interaction-expectation theo­ry). Seorang pemimpin menggerakkan pengikut de­ngan harapan-harapan bahwa ia akan berhasil men­capai tujuan organisasi, mendapat keuntungan, peng­hargaan dan lainnya. Dengan demikian diharapkan pengikut akan mengikuti pemimpin dengan harapan­-harapan si pemimpin. Teori ini mendasarkan diri pada variabel: aksi reaksi, interaksi, dan perasaan.
Kelima, Teori humanistik (humanistic theory). Teori ini meng­gunakan dalil yang memandang bahwa manusia ada­lah organisme yang dimotivasi, sedangkan organisasi sifatnya menyusun dan mengendalikan. Fungsi kepe­mimpinan ini adalah membuat organisasi sedemikian rupa sehingga memberi sedikit kebebasan kepada indi­vidu untuk mewujudkan motivasinya sendiri yang po­tensial untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya se­perti fisiologis, keamanan, sosial, prestige dan sebagainya.
Keenam, Teori pertukaran (exchange theory). Secara sederhana teori ini dapat dijelaskan pada asumsi bahwa terjadi proses interaksi sosial, pertukaran, memberi dan me­nerima antara anggota kelompok dengan segala pe­ngorbanan dan imbalannya. Di antara mereka terjadi apresiasi yang terus-menerus dan saling melakukan pertukaran keuntungan. Proses yang demikian terjadi pula pada pemimpin dan para pengikutnya yang pa­da gilirannya akan terjadi gerak, yaitu gerak para peng­ikut yang digerakkan pemimpinnya.
Pada pendekatan situasional, ada beberapa pola peri­laku yang bisa dibagi sebagai berikut:
Pertama, Kepemimpinan partisipatif. Kepemimpinan ini menyangkut baik pendekatan kekuasaan maupun perilaku kepemimpinan. Aspek kekuasaan seperti pembagian kekuasaan (powersharing) dan pemberian kewenangan pada pengikut, aspek perilaku seperti prosedur untuk konsultasi dan memperoleh saran dan gagasan, dan perilaku khusus untuk mendelegasikan wewenang.
Kedua, Kepemimpinan kharismatik. Dari sekian banyak pe­nulis yang mendefinisikan kharisma, akhirnya ada pe­nyatuan yaitu kharisma dipandang sebagai konsep in­teraksi. Kharisma sebagai suatu hasil persepsi dari pa­ra pengikut dan atribut yang dipengaruhi oleh kemam­puan-kemampuan aktual dan perilaku para pemim­pin, kebutuhan-kebutuhan individual maupun kolek­tif para pengikut. Kepemimpinan ini melihat sejauh mana perilaku para pengikut dari pemimpin-pemim­pin tertentu bersedia melakukan usaha yang luar biasa dan membuat pengorbanan pribadi untuk mencapai tujuan atau misi dari kelompok. Efektivitas dari se­orang pemimpin dijelaskan dalam kaitan dengan pe­ngaruhnya terhadap cara para pengikut melihat diri mereka sendiri dan menginterpretasi peristiwa-peris­tiwa. Ciri-ciri pemimpin kharismatik adalah mempu­nyai kebutuhan yang tinggi akan kekuasaan, rasa per­caya diri, serta pendirian dalam keyakinan-keyakinan dan cita-cita mereka sendiri. Kebutuhan pemimpin akan kekuasaan akan memotivasi pemimpin untuk men­coba mempengaruhi para pengikut.
Ketiga, Pemimpin transformasional. Adalah proses di mana para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yanglebih tinggi. Para pemimpin mencoba menimbulkan kesadaran pa­da pengikutnya dengan menyerukan cita-cita yang le­bih tinggi dan nilai-nilai moral seperti kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, bukan didasarkan pada emosi, seperti keserakahan, kecemburuan atau keben­cian.
Mengikuti pendekatan Max Weber, kita bisa membe­dakan lima tipe kepemimpinan politik, yakni tradisional, kharismatik, legalistik,entrepreneurial dan teknokratik. Tiga tipe yang pertama sesuai dengan analisis Weber ten­tang penguasa yang legitimateyaitu prinsip yang dipakai untuk menjastifikasi hak pemimpin politik untuk mengatur kewajiban pengikutnya untuk mematuhi. Aturan menjadi legitimate, ketika pengikut melaksanakan perintah pemimpin mereka karena mereka menerima hak pemimpin tersebut untuk memberikan perintah. Sedangkan pemim­pin kharismatik dan politisientrepreneur memainkan pe­ranan terbesar dalam gerakan revolusioner. Dan pemimpin tradisional, legalistik dan teknokratik biasanya mengidenti­fikasi mereka sebagai pemerintah yang mapan.
Pemimpin tradisional mengklaim praktik, budaya dan preseden masa lampau sebagai basis utama di balik kekua­saan mereka. Interaksi antara yang dipimpin dan pemim­pin seperti raja, patriah, sultan, pemimpin, amir, sesepuh dan pendeta. Penguasa tradisional mempertahankan bebe­rapa perjanjian ketika berkuasa. Meskipun mereka perlu menjaga budaya yang disakralkan. Mereka menggunakan kekuasaan mereka untuk menginterpretasikan budaya ini ke dalam situasi sekarang. Kekuasaan tradisional telah ter­pecah dalam hampir semua dunia. Meski demikian, pe­mimpin tradisional masih menjalankan aktivitas penting, khususnya pada tingkat pemerintahan lokal di mana me­reka bersikap sebagai patron pengikut mereka. Contohnya, di padang pasir Afrika, pemimpin berinteraksi dengan sub-pemimpin mereka, yang menerima pelayanan dan perlindungan karena dukungan mereka. Dalam beberapa daerah rural di Amerika Latin, tuan tanah lokal dan petani berinteraksi dalam patron yang sama, relasi klien yang digunakan untuk menghubungkan keluarga raja dengan pelayan.
Dalam memecah tradisi yang telah mapan, pemimpin kharismatik menjastifikasi hak untuk memimpin berda­sarkan kualitas personal mereka yang luar biasa, heroisme dan pemberian mandat. Pemimpin kharismatik terlihat seperti seorang nabi bagi pengikutnya, yang mematuhinya karena contoh kepribadiannya yang dia perlihatkan dalam misalnya untuk merubah masyarakat.
Perilaku pemimpin birokratik biasanya berbeda dari model legal-rasional yang dianalisis oleh Weber. Menurut model ini, birokrasi berjalan dalam cara yangrasional, di mana pemimpin mengkalkulasi cara yang efisien untuk mencapai tujuan. Birokrat menjalankan tugas spesifik de­ngan tanggung jawab yang telah ditentukan dengan jelas. Aturan impersonal mengarahkan prilaku mereka. Dalam herarki administratif, model kekuasaan terpusat akan me­nang. Pengambilan keputusan terjadi menurut prosedur yang stabil dan rutin. Tetapi perilaku pemimpin birokratik seringkali berangkat dari model legal-rasional.
Alur berpikir yang normal dan waras bilamana sang pemimpin hidup sederhana sehingga jangkauan pemikiran dan tindakannya dekat dengan penderitaan rakyat. Scbaliknya menjadi naif dan kontras bila bicara dan bertindak dalam program pengentasan penderitaan rakyat semen­tara para elit bermewah-mewah dengan Volvo, BMW, Mercedes Benz, bahkan Jaguar.
Bagaimana cara menyelami penderitaan rakyat, berpeluh dan bahkan berdarah pula, bila sang elit terayun-ayun dan bersejuk ria dalam mobil-­mobil mewah tersebut. Pada masa Nabi Muhammad SAW ada prinsip kepemimpinan, di mana sang pemimpin akan ikut menikmati kenikmatan yang ada setelah lebih dulu rakyat yang menikmati. Sebaliknya sang pe­mimpin akan tampil paling depan dalam menghadapi kesulitan sebelum rakyatnya lebih dulu menderita. Dari sinilah ditarik benang merah bahwa pemimpin seharusnya men­jadi teladan dalam segala hal. Dari sini pula munculnya prinsip bahwa sebenarnya pemerintah adalah pelayan rakyat dan bukannya pihak yang harus dilayani. Inilah konsep kepemimpinan yang diajarkan dalam Islam (Sayyidul Ummah Khadimuha/Pemimpin adalah Pelayan Ummat). Konsep inilah yang diberikan tauladan oleh Rasulullah SAW, Khalifah yang empat, Umar bin Abdul Aziz, dll.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar