Parpol perlu memikirkan mengenai kader seperti apa yang dibentuk agar taat menjalankan ritus organisasinya dan mampu mencapai tujuan politik yang ditetapkan. Parpol juga perlu memikirkan figur kepemimpinan seperti apa yang dia harapkan dari sekian banyak proses pengkaderan yang dijalankan. Karena itu untuk bisa memahami karakteristik kepemimpinan partai, dapat kita lakukan dengan menggunakan beberapa teori kepemimpinan dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang mendorong lahirnya kepemimpinan dan sifat (nature) kepemimpinan sebagai berikut:
Pertama, Teori serba sifat (traits theory). Kepemimpinan itu memerlukan serangkaian sifat-sifat, ciri-ciri atau perangai tertentu yang menjamin keberhasilan pada setiap situasi. Awalnya teori ini membandingkan sifat pemimpin yang ada dengan sifat-sifat “orang besar”. Kesimpulannya bahwa kepemimpinan “orang besar” adalah karena sifat-sifat yang di bawah sejak lahir dan bakat yang dimilikinya. Siagian menyatakan bahwa teori ini juga disebut teori generatis.
Kedua, Teori lingkungan. Munculnya pemimpin-pemimpin merupakan hasil dari waktu, tempat dan keadaan tertentu. Seseorang akan muncul menjadi pemimpin apabila ia berada dalam lingkungan sosial, dan mampu memanfaatkan situasi dan kondisi sosial untuk bertindak mengatasi masalah sosial. Setiap situasi dan kondisi akan menuntut kualitas kepemimpinan yang berbeda pula. Teori ini sejalan dengan pandangan bahwa “leaders are made not born”.
Ketiga, Teori pribadi-situasional (personal-situational theory).Kepemimpinan merupakan hasil dari keterkaitan antara sifat-sifat pribadi pemimpin, sifat kelompok dan anggotanya dan kejadian (masalah) yang dihadapi kelompok. Teori ini menyatakan bahwa sifat-sifat saja belum memungkinkan seorang pemimpin untuk berkembang namun masih harus dikaitkan dengan situasi dan kondisi.
Keempat, Teori interaksi-harapan (Interaction-expectation theory). Seorang pemimpin menggerakkan pengikut dengan harapan-harapan bahwa ia akan berhasil mencapai tujuan organisasi, mendapat keuntungan, penghargaan dan lainnya. Dengan demikian diharapkan pengikut akan mengikuti pemimpin dengan harapan-harapan si pemimpin. Teori ini mendasarkan diri pada variabel: aksi reaksi, interaksi, dan perasaan.
Kelima, Teori humanistik (humanistic theory). Teori ini menggunakan dalil yang memandang bahwa manusia adalah organisme yang dimotivasi, sedangkan organisasi sifatnya menyusun dan mengendalikan. Fungsi kepemimpinan ini adalah membuat organisasi sedemikian rupa sehingga memberi sedikit kebebasan kepada individu untuk mewujudkan motivasinya sendiri yang potensial untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya seperti fisiologis, keamanan, sosial, prestige dan sebagainya.
Keenam, Teori pertukaran (exchange theory). Secara sederhana teori ini dapat dijelaskan pada asumsi bahwa terjadi proses interaksi sosial, pertukaran, memberi dan menerima antara anggota kelompok dengan segala pengorbanan dan imbalannya. Di antara mereka terjadi apresiasi yang terus-menerus dan saling melakukan pertukaran keuntungan. Proses yang demikian terjadi pula pada pemimpin dan para pengikutnya yang pada gilirannya akan terjadi gerak, yaitu gerak para pengikut yang digerakkan pemimpinnya.
Pada pendekatan situasional, ada beberapa pola perilaku yang bisa dibagi sebagai berikut:
Pertama, Kepemimpinan partisipatif. Kepemimpinan ini menyangkut baik pendekatan kekuasaan maupun perilaku kepemimpinan. Aspek kekuasaan seperti pembagian kekuasaan (powersharing) dan pemberian kewenangan pada pengikut, aspek perilaku seperti prosedur untuk konsultasi dan memperoleh saran dan gagasan, dan perilaku khusus untuk mendelegasikan wewenang.
Kedua, Kepemimpinan kharismatik. Dari sekian banyak penulis yang mendefinisikan kharisma, akhirnya ada penyatuan yaitu kharisma dipandang sebagai konsep interaksi. Kharisma sebagai suatu hasil persepsi dari para pengikut dan atribut yang dipengaruhi oleh kemampuan-kemampuan aktual dan perilaku para pemimpin, kebutuhan-kebutuhan individual maupun kolektif para pengikut. Kepemimpinan ini melihat sejauh mana perilaku para pengikut dari pemimpin-pemimpin tertentu bersedia melakukan usaha yang luar biasa dan membuat pengorbanan pribadi untuk mencapai tujuan atau misi dari kelompok. Efektivitas dari seorang pemimpin dijelaskan dalam kaitan dengan pengaruhnya terhadap cara para pengikut melihat diri mereka sendiri dan menginterpretasi peristiwa-peristiwa. Ciri-ciri pemimpin kharismatik adalah mempunyai kebutuhan yang tinggi akan kekuasaan, rasa percaya diri, serta pendirian dalam keyakinan-keyakinan dan cita-cita mereka sendiri. Kebutuhan pemimpin akan kekuasaan akan memotivasi pemimpin untuk mencoba mempengaruhi para pengikut.
Ketiga, Pemimpin transformasional. Adalah proses di mana para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yanglebih tinggi. Para pemimpin mencoba menimbulkan kesadaran pada pengikutnya dengan menyerukan cita-cita yang lebih tinggi dan nilai-nilai moral seperti kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, bukan didasarkan pada emosi, seperti keserakahan, kecemburuan atau kebencian.
Mengikuti pendekatan Max Weber, kita bisa membedakan lima tipe kepemimpinan politik, yakni tradisional, kharismatik, legalistik,entrepreneurial dan teknokratik. Tiga tipe yang pertama sesuai dengan analisis Weber tentang penguasa yang legitimate, yaitu prinsip yang dipakai untuk menjastifikasi hak pemimpin politik untuk mengatur kewajiban pengikutnya untuk mematuhi. Aturan menjadi legitimate, ketika pengikut melaksanakan perintah pemimpin mereka karena mereka menerima hak pemimpin tersebut untuk memberikan perintah. Sedangkan pemimpin kharismatik dan politisientrepreneur memainkan peranan terbesar dalam gerakan revolusioner. Dan pemimpin tradisional, legalistik dan teknokratik biasanya mengidentifikasi mereka sebagai pemerintah yang mapan.
Pemimpin tradisional mengklaim praktik, budaya dan preseden masa lampau sebagai basis utama di balik kekuasaan mereka. Interaksi antara yang dipimpin dan pemimpin seperti raja, patriah, sultan, pemimpin, amir, sesepuh dan pendeta. Penguasa tradisional mempertahankan beberapa perjanjian ketika berkuasa. Meskipun mereka perlu menjaga budaya yang disakralkan. Mereka menggunakan kekuasaan mereka untuk menginterpretasikan budaya ini ke dalam situasi sekarang. Kekuasaan tradisional telah terpecah dalam hampir semua dunia. Meski demikian, pemimpin tradisional masih menjalankan aktivitas penting, khususnya pada tingkat pemerintahan lokal di mana mereka bersikap sebagai patron pengikut mereka. Contohnya, di padang pasir Afrika, pemimpin berinteraksi dengan sub-pemimpin mereka, yang menerima pelayanan dan perlindungan karena dukungan mereka. Dalam beberapa daerah rural di Amerika Latin, tuan tanah lokal dan petani berinteraksi dalam patron yang sama, relasi klien yang digunakan untuk menghubungkan keluarga raja dengan pelayan.
Dalam memecah tradisi yang telah mapan, pemimpin kharismatik menjastifikasi hak untuk memimpin berdasarkan kualitas personal mereka yang luar biasa, heroisme dan pemberian mandat. Pemimpin kharismatik terlihat seperti seorang nabi bagi pengikutnya, yang mematuhinya karena contoh kepribadiannya yang dia perlihatkan dalam misalnya untuk merubah masyarakat.
Perilaku pemimpin birokratik biasanya berbeda dari model legal-rasional yang dianalisis oleh Weber. Menurut model ini, birokrasi berjalan dalam cara yangrasional, di mana pemimpin mengkalkulasi cara yang efisien untuk mencapai tujuan. Birokrat menjalankan tugas spesifik dengan tanggung jawab yang telah ditentukan dengan jelas. Aturan impersonal mengarahkan prilaku mereka. Dalam herarki administratif, model kekuasaan terpusat akan menang. Pengambilan keputusan terjadi menurut prosedur yang stabil dan rutin. Tetapi perilaku pemimpin birokratik seringkali berangkat dari model legal-rasional.
Alur berpikir yang normal dan waras bilamana sang pemimpin hidup sederhana sehingga jangkauan pemikiran dan tindakannya dekat dengan penderitaan rakyat. Scbaliknya menjadi naif dan kontras bila bicara dan bertindak dalam program pengentasan penderitaan rakyat sementara para elit bermewah-mewah dengan Volvo, BMW, Mercedes Benz, bahkan Jaguar.
Bagaimana cara menyelami penderitaan rakyat, berpeluh dan bahkan berdarah pula, bila sang elit terayun-ayun dan bersejuk ria dalam mobil-mobil mewah tersebut. Pada masa Nabi Muhammad SAW ada prinsip kepemimpinan, di mana sang pemimpin akan ikut menikmati kenikmatan yang ada setelah lebih dulu rakyat yang menikmati. Sebaliknya sang pemimpin akan tampil paling depan dalam menghadapi kesulitan sebelum rakyatnya lebih dulu menderita. Dari sinilah ditarik benang merah bahwa pemimpin seharusnya menjadi teladan dalam segala hal. Dari sini pula munculnya prinsip bahwa sebenarnya pemerintah adalah pelayan rakyat dan bukannya pihak yang harus dilayani. Inilah konsep kepemimpinan yang diajarkan dalam Islam (Sayyidul Ummah Khadimuha/Pemimpin adalah Pelayan Ummat). Konsep inilah yang diberikan tauladan oleh Rasulullah SAW, Khalifah yang empat, Umar bin Abdul Aziz, dll.